Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie,
seorang peranakan dan ibunya Kwan Tjian Nio, seorang totok. Memiliki
adik bernama Siauw Giok Bie. Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki,
Menteri Negara, anggota
BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil
pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan
anggota DPA. Salah satu warisan buah karya Siauw ialah Universitas
Trisakti yang dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res
Publika, yang kemudian diubah namanya menjadi Universitas Trisakti.
Siauw Giok Tjhan wafat di Belanda pada tanggal 20 November 1981,
beberapa menit sebelum memberikan ceramah di Universitas Leiden.
Siauw sejak kecil sudah
mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan yang
menimpa diri dan kelompok etnisnya. Saat itu, ejekan "cina loleng"
sering sekali dilayangkan oleh kelompok anti-Tionghoa untuk merendahkan
orang-orang Tionghoa. Begitulah, dengan kemahiran kung-fu yang
dipelajari dari kakeknya, memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi
melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya.
Istilah "cina-loleng" adalah salah satu penghinaan yang biasa
dilontarkan untuk etnis Tionghoa. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam
memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus
dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda,
ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah
meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih
harus meneruskan sekolah itu.
***********************************************************
KONSEP INTEGRASI
"Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia" adalah semboyan yang untuk pertama-kalinya dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI di Semarang sejak tahun 1933-1934. Dan semboyan ini
benar-benar menjadi keyakinan-hidup Siauw Giok Tjhan sejak masa muda,
berjuang menjadi putra ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan
putra-putra Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan
kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Dalam menghadapi persoalan
Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut konsep Integrasi yaitu
konsep menjadi Warga Negara dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia
yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas
budaya dan suku dari masing masing komponen masyarakat termasuk
masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok
Tjhan ini sangat identik dengan teori "pluralisme" atau "multikulturalisme".
Menurut Siauw Giok Tjhan, Indonesian Race - Ras Indonesia - tidak ada. Yang ada adalah "Nasion" Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa. Siauw
berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah
bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian
suku Tionghoa adalah bagian dari "Nasion" Indonesia. Berdasarkan
pengertian inilah, Siauw mencanangkan konsep integrasi, sebagai metode
yang paling efektif dalam mewujudkan "Nasion" Indonesia - Nasion yang
ber-Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku,
termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam
tubuh "Nasion" Indonesia melalui kegiatan politik, sosial
dan ekonomi, sehingga aspirasi "Nasion" Indonesia itu menjadi aspirasi
setiap suku. Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa
setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi
bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia.
***********************************************************
MENENTANG ASIMILASI
Menurut Siauw Giok Tjhan, kecintaaan
seseorang terhadap Indonesia, tidak bisa diukur dari nama, bahasa dan
kebudayaan yang dipertahankannya, melainkan dari tindak tanduk dan
kesungguhannya dalam berbakti untuk Indonesia. Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan
Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti
namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kawin campuran dengan suku
non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia.
Oleh karena itu Siauw Giok Tjhan
menentang konsep asimilasi yang dikembangkan oleh Lembaga Pembina
Kesatuan Bangsa (LPKB), dibawah kepemimpinan Kristoforus Sindhunata pada
awal 1960-an. LPKB yang dimotori oleh para politisi katolik seperti
Harry Tjan Silalahi, Onghokham dsb mencanangkan asimilasi sebagai
"terapi" penyelesaian masalah Tionghoa. Dengan asimilasi mereka
bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaan-nya dengan
menanggalkan semua kebudayaan Tionghoa, mengganti nama-nama Tionghoa
menjadi nama-nama Indonesia dan kawin campur antar ras. Dengan demikian,
golongan Tionghoa tidak lagi bereksistensi sebagai golongan terpisah
dari golongan mayoritas. Kalau ini dijalankan, LPKB menyatakan,
lenyaplah diskriminasi rasial.
Siauw tidak menentang proses
asimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar. Yang ia tentang
adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan,
karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida, seperti yang
dialami oleh golongan Yahudi pada masa Perang Dunia ke II.
Putra bungsu Siauw Giok Tjhan
yang bernama Siauw Tiong Djin menyatakan bahwa efek samping dari
penerapan konsep Asimilasi yang pada awalnya dipercaya mempunyai maksud
baik, namun pada saat pelaksanaannya oleh penguasa Orde Baru, kebijakan
asimilasi itu dijadikan Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang
bentuknya memaksa, sehingga timbulah larangan yang kita alami selama 32
tahun tersebut. Sejarah membuktikan bahwa akibat dari itu semua akhirnya
meledak pada Kerusuhan Mei 1998, dimana terjadi pembunuhan, penjarahan
dan pemerkosaan terhadap kelompok minoritas Tionghoa.
***********************************************************
BAPERKI
Siauw
Giok Tjhan adalah ketua umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan
Indonesia (BAPERKI), sebuah organisasi massa yang didirikan pada suatu
pertemuan di Gedung Sin Ming Hui di Jakarta pada 13 Maret 1954.
Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang Tokoh Tionghoa, kebanyakan dari
mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti
PERWITT (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa) yang berpusat di
Kediri, PERWANIT (Persatuan Warga Indonesia Tionghoa) yang berdiri di
Surabaya dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan) yang berdiri di
Makassar. Semua peserta adalah peranakan Tionghoa yang umumnya
berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari Jawa,
tetapi ada pula sebagian yang berasal dari luar Jawa, seperti Padang,
Palembang, dan Banjarmasin.
Mereka mewakili semua spektrum
politik di Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan,
seperti Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwyong Peng Koen, Tan Siang Lian.
Tokoh-tokoh golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan
Ang Jang Goan, dan mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam
Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan
Liem Koen Seng (adik Liem Koen Hian).
Siauw Giok Tjhan terpilih
sebagai Ketua Umum, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe
Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong. Baperki Cabang Jakarta
dibentuk pada 14 Maret 1954 dan diketuai oleh Sudarjo Tjokrosisworo
(seorang pribumi Indonesia).
Baperki ikut serta dalam Pemilu
1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota
Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki
memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70%
suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini,
Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok
Tjhan sebagai wakilnya.
Pada tahun 1958 Jajasan
Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mulai berpikir untuk mendirikan sebuah
perguruan tinggi. Maka pada tahun itu dibukalah Akademi Fisika dan
Matematika yang tujuan utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah
menengah. Setelah itu, pada 1959, dibuka pula Kedokteran Gigi
(September), dan Teknik (November). Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran
dan Sastra. Rektor pertama Universitas Baperki ini adalah Ferdinand
Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa
kabinet di masa demokrasi parlementer.
Pada 1962, nama Universitas
Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica yang biasa disingkat
sebagai URECA, dengan cabang-cabang di berbagai kota di Jawa dan
Sumatra. Setelah peristiwa G30S, Universitas Res Publica ditutup, dan
gedungnya diambil alih oleh pemerintah. URECA di Jakarta kemudian dibuka
kembali dengan kepengurusan yang baru, dengan nama Universitas
Trisakti.
Untuk Konstituante, Baperki
diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien
Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave dan C.S. Richter. Dua
nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.
Setelah tragedi Gerakan 30
September 1965, Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru karena
dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Sejumlah aktivisnya,
seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa
pernah diadili.
***********************************************************
PARTAI TIONGHOA INDONESIA
Siauw
Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional Indonesia melalui proses
pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipelopori oleh Liem
Koen Hian pada tahun 1932. Berusia 18 tahun, Siauw menjadi salah seorang
pendiri PTI termuda. PTI berkembang sebagai aliran terbaru di dalam
komunitas Tionghoa di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua Tionghoa
di kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana, untuk menerima
Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya, menurut perspektif masa
kini, sangat masuk di akal. Orang Tionghoa pada umumnya lahir, hidup dan
meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi, kaitan dengan
Tiongkok semakin berkurang.
PTI mendukung berdirinya GERINDO
(Gerakan Rakyat Indonesia) pada tanggal 18 Mei 1937, yang berdasarkan
keputusan Kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat (Sekretaris
Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus GERINDO. Ketika itu,
GERINDO dibawah pimpinan A.K. Gani, Amir Syarifudin, Mohammad Yamin dan
lain lain melanjutkan usaha perjuangan tokoh-tokoh PNI, Partindo, yang
di-Digul-kan dan masih dalam pembuangan. Jadi, GERINDO menjalankan garis
demokrasi yang mengutamakan perlawanan
terhadap fasisme dan tidak mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa
membuka pintu untuk menerima etnis Tionghoa.
***********************************************************
PERKAWINAN SOSIALISME DAN KAPITALISME
Siauw
Giok Tjhan dianggap sebagai tokoh yang memperjuangkan hak komunitas
Tionghoa. Akan tetapi sebenarnya ia senantiasa bersandar atas prinsip
yang dianugrahi PTI sejak tahun 1932, yaitu pemecahan masalah Tionghoa
tidak terpisahkan dari masalah nasional Indonesia. Karena prinsip ini,
Siauw Giok Tjhan kerap melontarkan pandangan-pandangan, di dalam bidang
politik, sosial dan ekonomi, yang sifatnya membenahkan struktur Indonesia secara keseluruhan.
Pada tahun 1950-an, Siauw tekun
menyebar-luaskan pandangannya dalam hal pengembangan ekonomi domestik.
Pada hakekatnya, ia menganjurkan dilaksanakannya sebuah kebijakan
ekonomi pemerintah yang menyuburkan pada usaha yang dikelola oleh para
pedagang Indonesia tanpa memandang latar belakang ras si pedagang.
Argumentasinya, modal domestik
ini sangat dibutuhkan untuk membangun ekonomi Indonesia dan
pengkonsolidasian usaha domestik akan mempercepat kemakmuran yang bisa
diarahkan kemerataannya.
Siauw menentang digalakkannya
usaha-usaha raksasa yang dikelola oleh kekuatan multi-nasional karena
menurutnya keuntungan usaha semacam ini, yang diperoleh dari eksploitasi
kekayaan negara akan ditarik keluar dari Indonesia. Ia beranggapan
kebijakan ekonomi yang membunuh usaha domestik dan membangun jaringan
multi-nasional akan merugikan Indonesia.
Bilamana modal domestik
dikembangkan, ia berargumentasi, keuntungan yang diperoleh akan
dipergunakan oleh para pengusaha domestik untuk mengembangkan usahanya,
sehingga Indonesia secara keseluruhan memperoleh faedahnya. Pandangan
ekonomi digambarkan di atas sebenarnya mencanangkan "perkawinan" antara
paham sosialisme dan kapitalisme. Ia menginginkan kapitalisme skala
domestik berkembang untuk mempercepat proses perwujudan sosialisme ala
Indonesia.
Pada tahun 1950-an, pandangan
ekonomi Siauw cukup banyak ditentang oleh beberapa tokoh PKI di
parlemen, seperti Sakirman. Mereka mempromosikan konsep ekonomi
sosialisme yang menghendaki kapitalisme dikikis habis.
Kedekatan Siauw dengan Bung
Karno dan para tokoh politik di zaman Demokrasi Terpimpin memungkinkan
pandangan ekonomi ini masuk ke dalam kebijakan ekonomi yang tercantum di
dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1964.
Sayangnya kebijakan ini tidak
pernah dilaksanakan karena kekuasaan politik beralih ke tangan Soeharto
lebih tertarik ke arah Kapitalisme.
***********************************************************
dikutip dari: http://yinnihuarendexueleishi.blogspot.com/2010/02/siauw-giok-tjhan-pejuang-yang-dihapus.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar